Krisis Limbah dan Ancaman Kesehatan Publik
4 jam lalu
Limbah, adalah sisa atau buangan dari aktivitas manusia maupun proses alam yang dianggap tidak lagi berguna, tetapi tetap memiliki daya rusak
***
Wacana ini ditulis oleh Liza Adilia Pury, Luthfiah Mawar M.K.M., Helsa Nasution, M.Pd., dan Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si. Lalu diedit oleh Aisyah Umaira, Andieni Pratiwi, Andine Mei Hanny, Dwi Keisya Kurnia, dan Naila Al Madina dari IKM 6 Stambuk 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UIN Sumatera Utara.
Seorang ibu rumah tangga di pinggiran kota Bekasi pernah berkata dengan nada getir, “Setiap pagi bau sampah itu menyergap sampai ke ruang makan rumah saya, kadang anak-anak tidak mau sarapan karena mual.” Kalimat sederhana ini menyimpan realitas yang jauh lebih besar: limbah yang tidak dikelola bukan sekadar persoalan lingkungan, melainkan ancaman nyata terhadap kesehatan dan martabat manusia.
Limbah, pada hakikatnya, adalah sisa atau buangan dari aktivitas manusia maupun proses alam yang dianggap tidak lagi berguna, tetapi tetap memiliki daya rusak bagi lingkungan dan kesehatan apabila dibiarkan tanpa pengelolaan. Sayangnya, banyak masyarakat masih memandang enteng persoalan ini, padahal dampaknya amat signifikan. Di Indonesia, isu limbah kini menjelma sebagai masalah sosial-ekologis yang semakin mendesak untuk diatasi, terlebih dalam konteks urbanisasi dan pertumbuhan populasi yang begitu cepat.
Menurut laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2022), Indonesia menghasilkan lebih dari 65 juta ton sampah per tahun, dengan sekitar 60 persen di antaranya berasal dari limbah organik, sementara sisanya terdiri atas plastik, kertas, logam, serta limbah berbahaya. Jika dihitung, setiap orang di Indonesia rata-rata menyumbang 0,7 kilogram sampah setiap harinya. Ironisnya, sebagian besar sampah ini berakhir di Tempat Pembuangan Akhir dengan metode open dumping, yakni penumpukan terbuka tanpa memperhatikan standar kesehatan dan ekologi. Akibatnya, pencemaran udara, tanah, dan air menjadi fenomena sehari-hari yang memengaruhi kualitas hidup masyarakat (KLHK, 2022).
Jenis limbah yang ada di Indonesia sangat beragam, mulai dari padat, cair, hingga gas. Limbah padat seperti plastik, logam, dan kertas mendominasi, sementara limbah cair berasal dari rumah tangga maupun industri dengan kandungan deterjen, minyak, hingga bahan kimia. Adapun limbah gas kerap dihasilkan dari pembakaran, transportasi, dan aktivitas industri. Dari semua itu, plastik menempati posisi paling mengkhawatirkan karena membutuhkan ratusan tahun untuk terurai secara alami. Limbah organik sejatinya bisa diubah menjadi kompos atau biogas, tetapi karena keterbatasan sarana, sebagian besar hanya menumpuk, menimbulkan bau menyengat, serta menjadi sarang penyakit. Limbah B3 dari rumah sakit dan pabrik bahkan lebih berbahaya, karena mampu mencemari air tanah dan memicu penyakit kronis jangka panjang (WHO, 2021).
Dampak limbah yang tidak dikelola langsung merembes ke ranah kesehatan publik. Tumpukan sampah terbuka menjadi ladang berkembang biak bagi vektor penyakit seperti nyamuk, lalat, dan tikus yang membawa ancaman demam berdarah, malaria, leptospirosis, hingga diare. Di sisi lain, pembakaran sampah plastik menghasilkan zat berbahaya seperti dioksin dan furan yang dapat merusak paru-paru, memicu asma, dan meningkatkan risiko kanker (American Lung Association, 2020).
Kontaminasi air akibat limbah cair rumah tangga maupun industri memperburuk keadaan, sebab pencemaran logam berat dan bakteri patogen di sumber air minum mengancam kesehatan ginjal, hati, bahkan tumbuh kembang anak. Tidak mengherankan jika data UNICEF (2021) menunjukkan bahwa anak-anak yang tumbuh di lingkungan tercemar lebih rentan mengalami stunting dan gangguan perkembangan otak.
Berbagai kebijakan pemerintah sebenarnya telah dirancang, tetapi masih menghadapi tantangan yang kompleks. Rendahnya kesadaran masyarakat dalam memilah sampah, keterbatasan infrastruktur pengolahan, hingga ketimpangan antara kota besar dan pedesaan membuat pengelolaan limbah belum berjalan efektif. Plastik sekali pakai yang terus membanjiri pasar semakin memperburuk keadaan. Ini sejalan dengan laporan Bank Dunia (2021) yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu penyumbang sampah plastik ke laut terbesar di dunia.
Meski demikian, peluang solusi tetap terbuka. Pendekatan berbasis 3R (Reduce, Reuse, Recycle) perlu diperkuat dengan penegakan regulasi yang tegas serta investasi teknologi ramah lingkungan seperti insinerator bebas emisi dan pengolahan biogas. Lebih jauh lagi, sektor swasta dapat berperan melalui skema ekonomi sirkular, misalnya dengan program daur ulang botol plastik atau inovasi pengemasan yang ramah lingkungan. Kampanye publik dan pendidikan berkelanjutan juga harus digencarkan untuk membangun kesadaran kolektif bahwa mengurangi limbah berarti menjaga keberlangsungan hidup.
Pada akhirnya, limbah yang tidak dikelola adalah cermin dari relasi timpang antara manusia dan lingkungannya. Ia mengingatkan kita bahwa kesehatan masyarakat tidak mungkin terjaga tanpa keberlanjutan ekologi. Indonesia membutuhkan kolaborasi yang sungguh-sungguh, bukan sekadar program simbolis, untuk membangun sistem pengelolaan limbah yang adil, efektif, dan berjangka panjang. Jika tidak, maka setiap individu, mulai dari anak kecil di pedesaan hingga pekerja kantoran di kota besar, akan tetap menghirup udara tercemar, meminum air yang terkontaminasi, dan hidup dalam ancaman penyakit yang sebenarnya bisa dicegah.
Inilah waktunya menegakkan kesadaran kolektif: menjaga kebersihan bukan hanya urusan individu, melainkan sebuah tanggung jawab peradaban. Jika bangsa ini ingin menjamin masa depan generasi mendatang, maka pengelolaan limbah harus menjadi prioritas yang tidak bisa ditawar lagi.
Corresponding Author: Liza Adilia Pury (email: [email protected])

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Krisis Limbah dan Ancaman Kesehatan Publik
4 jam lalu
Rokok, Luka Tersembunyi di Paru-Paru Bangsa
4 jam laluBaca Juga
Artikel Terpopuler